Di usia senja, dalam kondisi fisik yang pernah mengalami stroke, Profesor Hardjo tetap ingin memberikan makna dan manfaat bagi pengembangan ilmu geografi. Kuliah lapangan di dusun dan sungai yang curam di lereng Merapi masih dijalaninya.
Rural Gegraphy atau Geografi Pedesaan adalah bidang keahlian
yang ditekuni Prof Dr A.J. Suhardjo MA (76). Cabang ilmu geografi ini
mempelajari fenomena sosial, ekonomi, dan kultural beserta
perubahan-perubahannya di wilayah pedesaan terkait berbagai faktor penentu di
tingkat lokal, regional maupun global.
Mayoritas wilayah Indonesia merupakan daerah perdesaan dengan
keragaman dan tipe perkembangan yang sangat ekstrem. Desa dalam paradigma
modernisasi adalah ikon keterbelakangan dan kemiskinan. Tetapi, menurut kakek
tiga cucu ini, desa sebagai representasi masyarakat tradisional dan terbelakang
boleh optimis akan berproses menjadi masyarakat yang maju dan modern, asal
pembangunan pedesaan didasarkan pada potensi lingkungan dan kebutuhan desa
setempat.
Jago berhitung
“Saya ini orang desa. Sewaktu kecil, saya sudah terbiasa dengan
bajak, kambing, kerbau, dan sapi,” kenang pria kelahiran Dusun Nganti,
Sendangadi, Mlati, Sleman. Sewaktu kecil, ia biasa dipanggil Den Baguse Suhar
karena memiliki garis silsilah Kasuhunan Kartasura. Ia mulai menuntut
pendidikan di Hollands Inlandse School (HIS) di Bruderan Kidul Loji sampai
kelas tiga. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan di SD Netral. Hardjo kecil
dikenal jago berhitung.“Saya menonjol dalam mata pelajaran berhitung,”
kenangnya. Panggilan profesor untuk Hardjo kecil sudah melekat padanya. Ketika
ada kesempatan mengerjakan soal di depan kelas, teman-temannya sering
berseloroh, “Ayo profesor maju!“. Ibunya sering memberi perhatian lebih padanya
dengan dalih ia masih kecil. “Ketika masih di HIS Bruderan Kidul Loji, saya
sering diberi uang saku 2 Sen dengan alasan masih kecil, sementara kakak-kakak
saya hanya diberi uang saku 1 Sen saja,” tuturnya.
Pada usia 31 tahun ia baru menikah, sementara kakak-kakaknya
sudah meninggalkan rumah karena menikah pada umur 25 tahun. Meski cerdas, ia
pernah panen nilai merah untuk lima mata pelajaran. Ia dinyatakan tidak naik
kelas. Namun berkat kegigihan Bapak Sunarno, gurunya, ia dinyatakan naik kelas.
Ia sebenarnya cerdas, tetapi jarang masuk sekolah karena aktif di organisasi
pelajar.
Semasa di SMA, ia termasuk pelajar yang suka berorganisasi,
bahkan pernah menjadi Ketua Ikatan Pelajar Indonesia dan Panti Muda Kabupaten
Sleman. Setelah menamatkan SMAN I Kotabaru, tahun 1953, ia meneruskan
pendidikannya di Jurusan Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Di
sini, ia hanya bertahan lima semester. Ia pindah haluan ke jurusan Ilmu Bumi
Alam di universitas yang sama. Pada 24 Desember 1953, ia dibaptis menjadi
Katolik. “Kalau mau jujur, pengetahuan saya tentang agama sangat minim. Saya
ini abangan. Akhirnya, saya dibaptis oleh Pastor Van Beek SJ tanpa harus
mengikuti pelajaran seperti saat ini,” kenangnya.
Membidani KKN
Sejak masuk Perguruan Tinggi, saya mencoba mencari uang jajan sendiri dengan menjadi pendidik di SMP PGRI Sleman, SMA Agustinus Sleman, SMA de Britto, SGA Tarakanita di Kidul Loji, SMA Thomas Kidul Loji, SMAN 3B, dan SMA Bopkri Yogyakarta, papar ayah dua anak ini. Berkat tawaran Almarhum Profesor Bintarto, ia bekerja di Universitas Gadjah Mada dan menjadi PNS pada 1961. Tahun 1974, ia mendapat beasiswa untuk belajar di Inggris pada program Master of Arts in Rural Social Development. sebagai Sekretaris Biro Pengabdian Masyarakat dan Ketua Proyek Pengabdian Masyarakat, ia berperan aktif membidani kelahiran kurikulum Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dalam sebuah seminar tahun 1972, Kuliah Kerja Nyata diputuskan menjadi kegiatan wajib dalam kurikulum Perguruan Tinggi Negeri.
Sejak masuk Perguruan Tinggi, saya mencoba mencari uang jajan sendiri dengan menjadi pendidik di SMP PGRI Sleman, SMA Agustinus Sleman, SMA de Britto, SGA Tarakanita di Kidul Loji, SMA Thomas Kidul Loji, SMAN 3B, dan SMA Bopkri Yogyakarta, papar ayah dua anak ini. Berkat tawaran Almarhum Profesor Bintarto, ia bekerja di Universitas Gadjah Mada dan menjadi PNS pada 1961. Tahun 1974, ia mendapat beasiswa untuk belajar di Inggris pada program Master of Arts in Rural Social Development. sebagai Sekretaris Biro Pengabdian Masyarakat dan Ketua Proyek Pengabdian Masyarakat, ia berperan aktif membidani kelahiran kurikulum Kuliah Kerja Nyata (KKN). Dalam sebuah seminar tahun 1972, Kuliah Kerja Nyata diputuskan menjadi kegiatan wajib dalam kurikulum Perguruan Tinggi Negeri.
Guru Besar Luar Biasa UGM dengan disertasi (1988) berjudul
“Peranan Kelembagaan Dalam Hubungan Dengan Komersialisasi Usaha Tani Dan
Distribusi Pendapatan, Studi Kasus Di Daerah Pegunungan Wilayah Kabupaten
Banjarnegara – Jawa Tengah” ini merupakan Tim Ahli Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Ia berpengalaman melaksanakan pembinaan kegiatan KKN di
seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia.
Pada bentangan tahun 1995-1999, ia masuk jajaran Graduate Team
Research Grand. “Saya telah menghasilkan 10 orang doktor, lima di antaranya
lulus Cum Laude. Saat ini, saya masih membimbing tiga calon doktor,” tegas pria
yang pernah menjadi Ketua Program Sandwich antara UGM dan Universitas Utrecht
Belanda.
Tugas sebagai dosen PNS dijalaninya selama 42 tahun (1961-2003).
Meski sudah pensiun, pengabdiannya di Universitas Gadjah Mada belum berhenti.
“Saya masih mempunyai beban tanggungan sebagai promotor untuk para calon
doktor. Saya masih diminta menjadi guru besar luar biasa pada Program Studi
Pembangunan Wilayah pada Program S1, mengajar Filsafat Sains Geografi di S3,”
ungkapnya.
0 Komentar