Beliau lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 17 November
1929, sore hari, menjelang maghrib. Ketika lahir, beliau kalung usus. Menurut
kepercayaan orang Jawa, bila seorang bayi terlahir dengan kalung usus, maka
pada saat dewasa kelak, ia akan menjadi sosok yang luwes, pandai bergaul, dan
selalu pantas (patut) bila mengenakan pakaian jenis apapun. Sayangnya sebelum
beranjak dewasa, yakni pada usia 3 tahun Pak Bambang telah menjadi anak yatim,
karena ayahanda meninggal dunia.
Pendidikan Pak Bambang diawali dari sekolah H.I.S (Holland Inlandsche School)
di jaman penjajahan Belanda (setingkat S.D.), tahun 1936. Pada tahun 1939
beliau pindah ke Blitar, dan sekolah di Johanes Gabriel School. Pendidikan
menengah Pak Bambang dijalani di SMP Negeri I Jember, dilanjutkan belajar di
Sekolah Pelayaran Tinggi (SPT) Cilacap. Pak Bambang kemudian pindah lagi ke
Yogyakarta, dan melanjutkan sekolah di SMA B II (Wah, ternyata, masa kecil
beliau ini berpindah-pindah ya?). Didorong oleh keinginannya untuk turut
berjuang melawan penjajahan, selanjutnya Pak Bambang mendaftarkan diri menjadi
tentara, dan ikut berperang, pada tahun 1945. Ketika itu beliau sebagai Tentara
Pelajar, tergabung dalam Batalyon 300 Yogyakarta.
Sebenarnya sejak kecil Pak Bambang sudah tertarik dengan ilmu kebumian. Hal ini
didorong oleh rasa keingintahuannya yang besar terhadap apa yang telah
dilakukan oleh Van Bemmelen, karena pada waktu itu rumahnya berdekatan dengan
tempat tinggal Van Bemmelen. Meneer Bemmelen , seorang geolog Belanda, suka
sekali mengumpulkan balung buto (tulang-belulang manusia purba). Itulah
sebabnya ketika berkesempatan melanjutkan pendidikannya, Pak Bambang memilih
memelajari geografi di UGM, pada tahun 1950.Semula
Pak Bambang mendaftar di Jurusan Teknik Kimia, tetapi belum genap setahun,
beliau pindah ke Jurusan Geografi Fisik Fakultas Sastra dan Pedagogik. Beliau
lulus tahun 1955.
Pak Bambang menikah pada tahun 1952, dengan Ibu Sularsih, dikaruniai
putra-putri bernama Bambang Sutejo, Bambang Widiyatmojo, Tri Mustikowati,
Bambang Wisaksono, Retno Dyah Kusumastuti, dan Bambang Wahyu Cahyono. Pada
Tahun 1963 Ibu Sularsih meninggal. Pak Bambang menikah lagi dengan Ibu Moerti
pada tahun 1964, dan dikaruniai dua orang anak yaitu Diesna Kusumawati, dan
Bambang Kuncoro Kartiko Kusumo.
Pasca perang kemerdekaan, Pak Bambang bersama dengan kawan-kawan
seperjuangannya mulai merintis pendirian sebuah perguruan tinggi, yang
dimaksudkan sebagai monumen aktif untuk mewadahi para bekas pejuang yang ingin
melanjutkan studinya. Maka berdirilah APN “Veteran” pada tahun 1958. Kemudian
nama APN berubah menjadi PTPN (Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional), dan
akhirnya menjadi UPN “Veteran” pada tahun 1977. Semula UPN “Veteran” yang ada
di Yogyakarta, Jakarta dan Jawa Timur merupakan satu perguruan tinggi. Akan
tetapi setelah ... UPN dipecah menjadi tiga, ialah UPN “Veteran” Jakarta, UPN
“Veteran” Yogyakarta, dan UPN “Veteran” Jawa Timur, masing-masing dengan rektor
berbeda. Pak Bambang menjadi rektor sejak 1958 hingga 1993.
Pak Bambang telah memperoleh gelar tertinggi dalam pendidikan sebagai profesor
di bidang geomorfologi pada tahun 1986. Berbagai penghargaan telah beliau
terima. Penghargaan yang baru saja beliau terima pada tahun 2007 dari Menteri
Pendidikan Nasional adalah Augraha Sewaka Winayaroha, karena jasa-jasa dan
pengabdian beliau di bidang pengembangan pendidikan tinggi.
0 Komentar