Profesor Dr. Ir. Emmy Suparka Pakar Geologi Pertama Indonesia

7:53 PM


“Sekarang ilmu geologi berkembang sangat pesat, mulai dari analisis inderaja, pemodelan, hingga simulasi komputer. Tetapi menurut saya setiap mahasiswa geologi harus mengetahui ilmu dasar geologi; dan itu, selain dipelajari di bangku kuliah, juga diperoleh di lapangan.”

Pernyataan tersebut disampaikan oleh Profesor Dr. Ir. Emmy Suparka seorang pakar geologi yang mendapat anugrah profesornya tahun 2001. Beliau merupakan profesor perempuan geologi pertama di Indonesia, sekaligus profesor perempuan pertama bidang teknik di Institut Teknologi Bandung (ITB).
Antara tahun 1960 -1970an, ketika bidang geologi mulai berkembang di Indonesia dan masih didominasi oleh kaum laki-laki, Emmy, perempuan kelahiran Denpasar, Bali, 17 April 1948 itu memantapkan dirinya memilih Jurusan Geologi yang justru tidak diminati kaumnya. Setamatnya dari sekolah menengah di Yogyakarta, ia tertarik memilih Jurusan Geologi karena beberapa hal. Antara lain karena ahli geologi dinilainya masih kurang di Indonesia, terutama perempuan yang masih bisa dihitung dengan sebelah jari. Selain itu, ketertarikannya pada Geologi karena ada nuansa yang menantang  dengan ilmu Geologi. Apa itu Geologi? Seperti kebanyakan ketertarikan awal pemilihan Jurusan Geologi, Emmy pun berharap jika kuliah di Geologi, ia dapat meneruskan kesenangannya terhadap traveling, bepergian melihat hal yang baru, melihat alam dan banyak hal.
Dalam wawancara kami, tiba-tiba Emmy tertawa dan ia berujar, “ada hal yang tidak bisa saya lupakan ketika mengikuti testing masuk ITB Jurusan Geologi, tahun 1965. Ketika saya mau memasuki ruangan tempat ujian, saya dicegat oleh pengawas dan mengatakan ini untuk Jurusan Geologi. Mbak salah ruangan, kata pengawas. Saya yakinkan bahwa saya tidak salah ruangan dengan memperlihatkan kartu ujian.” Ini gambaran betapa tidak populernya Jurusan Geologi di kalangan perempuan pada saat itu. “Tahun 1965 hanya ada dua mahasiswi yang masuk di Jurusan Geologi ITB, yaitu saya, dan Eti Nuay yang merupakan perwakilan dari daerah,” lanjutnya mengenang masa awal kuliah.
Menurut Emmy, ada kesenjangan informasi yang sampai kepada masyarakat tentang geologi. Pada umumnya masyarakat memahami bahwa geologi adalah ilmu yang berkaitan dengan gunung dan hutan. Padahal tidak demikian. Itulah sebabnya para orang tua kurang merespon keinginan putera-puterinya untuk mengambil jurusan ini. Sekarang sudah memadai, informasi tentang Geologi sudah diterima oleh masyarakat sebagaimana adanya.
Seiring berlalunya waktu, tiba saatnya memilih spesialisasi. Emmy semula tertarik dengan fosil. Jazad renik itu bisa membawa kepada khayalan ribuan bahkan jutaan tahun silam. Tetapi di bawah mikroskop, rupanya menurut Emmy, fosil itu dibolak-balik bentuknya sama saja tidak berubah. Hal itu berbeda dengan melihat sayatan batuan di bawah lensa mikroskop. Berubah posisi lensa, berbagai bentuk dan warna muncul dan tentu menghasilkan berbagai imajinasi dan interpretasi. Bagi Emmy hal ini menarik dan menantang. Akhirnya Emmy memilih petrologi sebagai spesialisasinya. Sekali lagi anak kedua dari delapan bersaudara ini membuat teman-temannya bergumam, “Emmy memilih hard rock?” ujar mereka tidak percaya.
Made Emmy Relawati, nama gadisnya, adalah anak kedua dari delapan bersaudara dari pasangan Putu Badjre Kusumaharta (alm) dan Nyoman Resike. Ketika usia Emmy sepuluh tahun, mereka pindah dari Denpasar ke Yogyakarta. Ia kemudian menyelesaikan sekolah dasarnya di SD Bopkri pada 1959, lulus tingkat SLTP di SMP Negeri II pada 1962, serta tingkat SLTA di SMA Stella Duce pada 1965, seluruhnya di Yogyakarta. Ayahnya seorang wiraswasta yang berhasil dan memberikan kebebasan serta kepercayaan penuh kepada putera-puterinya untuk memilih masa depannya. Dari delapan  bersaudara hanya Emmy yang menjadi pegawai negeri, lainnya mengikuti jejak ayahnya sebagai pengusaha.
Sebagai mahasiswi di sarang mahasiswa tidak membuat Emmy dan Eti merasa jengah atau risi. Karena mereka minoritas, dua mahasiswi ini selalu mendapatkan perlindungan dan prioritas dari rekan-rekannya para mahasiswa, bahkan dosen. Setiap ada event penting mengenai geologi, mereka selalu diajak ikut serta dan itu menambah pengalaman di lapangan.
Ada dua peristiwa penting yang tidak dapat dilupakan oleh Emmy. “Pertama, saat saya keluar dari ruangan sidang ujian sarjana, saya tiba-tiba diserang rasa haru dan terdiam di depan pintu. Betapa beban berat yang saya lalui selama ini telah lepas. Tuhan, terima kasih, ucap saya dalam hati. Teman-teman ikut diam dan menyangka saya tidak lulus. Saat salah seorang dosen penguji keluar mengucapkan selamat, saya lulus dengan predikat terbaik (cum laude), teman-teman saya baru bergembira.”
“Kedua, ketika kalimat terakhir dari disertasi saya selesaikan. Saya merasa sangat terharu, betapa perjuangan panjang ini sudah saya lalui dengan baik.” Ada genangan air yang tidak tumpah di pelupuk mata Emmy mengenang masa indah itu.  Emmy menyelesaikan sarjana Geologi dari ITB tahun 1973 dan program doktor sandwich di Laboratoire de Geochime et Cosmochimie, di Universite de Paris IV, Prancis pada tahun 1988.
Selepas sarjana, Emmy memilih menjadi dosen dengan pertimbangan bahwa dapat mengatur waktu antara bekerja dan mengurus keluarga. Ia tercatat menjadi dosen di almamaternya sejak 1976. Dengan menjadi dosen, ilmunya bisa berkembang dan bisa berbagi ilmu dengan orang lain.
Emmy menikah dengan “kakak kelasnya”  Suparka, sarjana Geologi ITB angkatan 1962 yang sekarang telah pensiun dari Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI dengan gelar terakhir profesor riset. Pada saat kami menanyakan mengapa memilih Pak Suparka menjadi pendamping hidup, “Sederhana. Pak Suparka memilih saya,” jawabnya. “Alasan lain, karena Suparka banyak membimbing, bukan hanya dalam ilmu Geologi, tetapi juga memberi wejangan dan semangat. Hidup berdampingan dengan orang yang satu profesi memudahkan saya untuk bekerja. Tidak banyak pertanyaan mengapa dan kenapa karena pasti tahu apa yang saya kerjakan,” ujarnya lebih lanjut. Mereka dikaruniai seorang putera yang sekarang menetap di Australia.
Pengalaman pertama kali mengajar adalah ketika menggantikan Prof. Rubini Soeria-Atmadja (almarhum) di Universitas Trisakti, Jakarta. Saat masuk kelas para mahasiswa mengira Emmy adalah sekertaris Pak Rubini dan datang hanya untuk menyampaikan permintaan maaf karena beliau tidak bisa mengajar. Para mahasiswa yang pada mulanya mencoba menggoda dengan bersiul dan bersuit, alangkah kagetnya, ternyata  Emmy datang untuk memberikan kuliah menggantikan Pak Rubini yang berhalangan datang. “Ini pengalaman pertama, dan saya berhasil melaluinya dengan baik. Mahasiswa hormat apabila kita hormat,” ucap Emmy.
Berdiri di depan kelas menghadapi mahasiswa yang rata-rata laki-laki tidak membuat  Emmy grogi atau demam panggung. Boleh jadi karena sejak usia 10 tahun sudah terbiasa menghadapi publik dengan menari di atas panggung. Demikian cintanya pada tari Bali, ketika sudah tinggal di Yogyakarta pun setiap liburan selalu ke Bali untuk latihan menari di Sanggar Naryo. Selain tari Bali, selama di Yogyakarta ia juga belajar tari Jawa dari Bagong Kusudiarjo. Di Bandung pun, tari Sunda ia pelajari juga.
Pengalamannya sebagai penari membawa Emmy tidak saja sebagai ahli geologi perempuan dan profesor Geologi di Indonesia, tetapi seolah-olah Geologi ikut menari bersamanya. Salah satu peristiwa penting di antaranya ketika Emmy memberikan kado istimewa sebagai penghormatan kepada profesor pembimbingnya pada saat peluncuran buku di Prancis dengan menampilkan tarian Bali. Sejak penampilan itu, Emmy menjadi dikenal dan dibicarakan oleh banyak kalangan di lingkungan kampus Universite de Paris IV. Bahkan saat sudah menjadi anggota senat guru besar di ITB pun, Emmy masih berkesempatan untuk menari. Penampilannya yang terakhir sebagai penari di depan publik adalah ketika acara penyerahan gamelan oleh Gubernur Bali kepada Rektor ITB pada awal tahun 2000an. Rekannya sesama anggota senat guru besar seolah tidak percaya dengan penampilan yang memukau itu dibawakan oleh seorang profesor Geologi.
Di beberapa kampus ada perkumpulan yang bersifat kedaerahan yang digagas oleh mahasiswa. Dalam acara tertentu mereka menampilkan kesenian daerah, atau sekedar melepas rindu kampung halaman. Emmy termasuk salah seorang akitivis perkumpulan mahasiswa Bali Maha Gotra Ganesha, bersama juga antara lain Bapak Jero Wacik, Menteri ESDM saat ini. Selain di unit kesenian, keaktifannya sebagai mahasiswa di ITB di antaranya juga adalah menjadi anggota Mahawarman dan bergabung di EH-8 Radio ITB.
Dosen geologi yang masih aktif ini dalam usianya yang sudah kepala enam tetap terlihat sangat energik. Satu hal yang tidak pernah lalai dilakukan adalah jalan pagi. “Setiap hari saya harus berjalan minimal satu jam,” ujarnya. Selain itu hobi Emmy adalah membaca dan mengurus tanaman. “Tetapi tanaman yang mudah cara pengurusannya,” ujarnya.
Saat ditanyakan tentang idola, Emmy tampak menerawang. “Saya hanya mengidolakan ibu saya. Beliau tidak hanya mengerti saya, tetapi memberikan senyum ketika saya berhasil dan memberikan motivasi ketika saya sedang gagal dan gundah. Ibu saya adalah orang yang sangat istimewa,” katanya mantap. Sekarang ini ibunya  tinggal bersama salah seorang puteranya di Jakarta pada usia 84 tahun dan masih sehat. “Tapi saya mendapat pelajaran pertama tentang hidup mandiri dan bertanggung jawab dari ayah saya,” tambahnya kemudian.
Karirnya sebagai pegawai negeri sudah di ujung jalan, dua tahun lagi Emmy memasuki masa pensiun. Selama masa baktinya di ITB, Emmy di antaranya pernah menduduki jabatan Ketua Departemen Teknik Geologi dalam dua kali masa jabatan, yaitu 1992- 1995 dan 1996-1998. Ia kemudian menjadi Kepala Penerbit ITB 1998-2000. Pada 2000-2005, Emmy terpilih menjadi dekan Fakultas Teknologi Mineral (FTM) untuk selanjutnya ditarik ke rektorat sebagai Wakil Rektor Bidang Riset, Inovasi, dan Kemitraan merangkap Ketua LPPM ITB dari 2005 hingga 2008. Saat ini Emmy aktif sebagai ketua Kelompok Keilmuan Geologi selain sebagai wakil kepala salah satu unit usaha di ITB.
Meskipun dengan segala kesibukannya, hingga kini masih banyak mahasiswa bimbingannya, terutama mahasiswa S2. Beberapa di antaranya datang dan memohon agar dibimbing oleh Emmy. Ketika kami menanyakan kenapa mereka begitu antusias memilih Ibu, jawabannya singkat, “mereka tidak diperlakukan sebagai mahasiswa semata, tetapi adalah bagian dari keluarga saya. Jadi mereka saya targetkan harus berhasil dengan gemilang”.
Tidak sedikit di antara “bekas mahasiswanya” masih meminta nasehat atau sekedar curhat tentang apa saja kepada Emmy meskipun mereka sudah berada jauh di tempatnya bekerja. “Banyak dari anak bimbingan saya yang sudah bekerja di tempat yang jauh, setiap berkunjung ke Bandung selalu mampir menemui saya, sekedar say hallo. Ini sangat menyenangkan, ada silaturahim yang sinambung,” ujar bu Emmy.
Sebagai seorang ilmuwan Emmy sudah mencapai puncak dengan meraih gelar profesor. Sebagai dosen sudah pada jenjang anggota senat guru besar dan pernah menjabat Ketua Jurusan Geologi, ITB. Adakah obsesi yang belum tercapai? Ketika kami menanyakan hal tersebut, Emmy dengan tegas mengatakan, “saya tidak punya target. Sebagai hamba Tuhan, saya tidak boleh tinggalkan shalat dan kewajiban lainnya sebagai seorang ibu rumah tangga dan anggota masyarakat. Sejak muda saya ingin mengajar. Bahkan ketika saya masih mahasiswi saya pernah mengajar menari pada anak-anak di RT tempat saya tinggal. Pada hakekatnya saya ingin mengabdi.”
Pesannya kepada kaum perempuan, terutama yang memilih menjadi ahli geologi, “jangan pernah berhenti belajar, harus berperan aktif dan percaya diri. Banyak yang bisa dilakukan oleh perempuan, bahkan banyak pekerjaan yang menanti karena perempuan lebih telaten.” Menurutnya, persoalan Geologi di masa depan selain masalah eksplorasi untuk energi, juga adalah masalah lingkungan hidup secara umum, dan untuk semua itu, ahli geologi perempuan akan mempunyai andil yang sangat besar.

Sumber : 
Wawancara dan tulisan Syamsul Rizal Wittiri dan Budi Brahmantyo

Majalah Geologi Populer GEOMAGZ Vol. 1 No. 4 Desember 2011
Previous
Next Post »
0 Komentar